MENGURANGI SUMBER FRIKSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Tugas Mandiri pada
Mata Kuliah Manajemen Kelas
(Muh. Hanif, S.
Ag., M. Ag., MA)
Oleh:
Muzaeni
Frida Fathurahman
(1123301196)
6 PAI
1
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2014
PENDAHULUAN
Dalam setiap proses
pembelajaran tentunya terdapat potensi gangguan dari siswa. Dalam beberapa
tahun belakangan, perkembangan akan pengajaran yang memadukan berbagai
kemampuan siswa dalam bentuk kerja kelompok telah meningkatkan potensi
tersebut. Oleh karena itu guru-guru saat ini rentan terhadap waktu-waktu
tersebut yang biasa digunakan oleh siswa untuk membuat friksi atau gangguan.[1] Empat
sumber/penyebab utama dari sebuah friksi dikemukakan oleh Francis (1975)
seperti kebisingan, bermain-main, berpindah-pindah tempat dan mengobrol. Semua
sumber friksi tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi guru. Apabila guru
salah menangani masing-masing darinya maka akan menjadi sebuah iritasi kecil
sampai akhirnya menjadi konfrontasi yang serius.
Kebisingan, sebagai contoh,
mengesek-gesekkan kaki atau kertas, menggeserkan bangku atau teletekan dalam bahasa jawa, batuk yang
dibuat-buat atau perwujudan hal yang lebih buruk apapun sangat mungkin
digambarkan sebagai bentuk kesengajaan. Bahkan mencoba mendefinisikan
indikasi-indikasi betapa kecilnya suatu pelanggaran dan betapa sulitnya untuk
melakukan tuduhan atas hal ini.
Pada umumnya gangguan-gangguan yang
dilakukan oleh siswa mengandung beberapa unsur kesengajaan yang hakikatnya
adalah ingin mendapat perhatian dari kelas. Dalam konteks ini, (Dreikurs dan
Casse dalam T. Raka Joni: 1989) membedakan empat kelompok masalah siswa yang
bersifat individual, seperti: attention-getting behaviors, power seeking
behaviors, revenge seeking behaviors dan disability manisfestation.[2]
Dengan beberapa
gangguan-gangguan tersebut, pantaslah bagi guru untuk segera mengatasi hal-hal
yang dapat merusak konsentrasi kelas ketika berlangsung proses pembelajaran sehingga
tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dicanangkan dapat tercapai.
A.
Tingkah Laku yang
Mengganggu
Banyak sekali dari siswa yang bertingkah laku yang
cenderung mengganggu aktivitas pembelajaran. Hal ini sangat penting bagi guru
dan siswa untuk mengerti dan memahami apa itu tingkah laku yang mengganggu agar
dapat menyadari akan pentingnya menjaga konsentrasi ketika dalam proses
pembelajaran.[3]Terdapat
kurang lebih empat pengertian tingkah laku yang mengganggu, bahwa tingkah laku
yang mengganggu adalah tingkah laku yang:
1.
Mengganggu proses pembelajaran pada satu atau beberapa
siswa,
2.
Mengancam keselamatan seorang atau beberapa siswa,
3.
Memaksa secara langsung untuk mengerjakan tugas atau
piket kelas,
4.
Memaksa untuk memaklumi adat istiadat yang menyimpang
(seperti berbicara kotor atau sentuhan yang tidak pantas).
B.
Sumber Friksi
Menurut Francis (1975), ada empat sumber gangguan yang
dapat menghambat proses pembelajaran, seperti
kebisingan, kehilangan peralatan tulis, berpindah-pindah tempat dan mengobrol.
Semua sumber friksi tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi guru. Apabila
guru salah menangani masing-masing darinya maka akan menjadi sebuah iritasi
kecil sampai akhirnya menjadi konfrontasi yang serius.
1.
Kebisingan (noisy)
Kebisingan
mungkin menjadi suatu yang biasa dilakukan siswa ketika tidak memiliki
aktifitas. Mereka sering kali menggeser-geserkan kaki atau kertas, memainkan
meja untuk teletekan dan bangku atau batuk yang dibuat-buat[4]atau
perwujudan tingkah laku apapun yang lebih buruk sangat mungkin digambarkan
sebagai bentuk kesengajaan.
2.
Kehilangan Alat Tulis (losing
equipment)
Kehilangan
atau kerusakan alat-alat tulis sangat mungkin dapat menjadi sumber potensial
lain dari sebuah friksi, terutama ketika terdapat kesempatan bagus dari siswa
untuk menunjukkan bahwa alatnya rusak dan melukai dirinya. Saat mereka
memprotes “saya mempunyai penggaris, tetapi seseorang telah mengambilnya, atau “saya
tidak bisa membantunya jika pensilnya masih tumpul” dapat menjadi sesuatu yang
sangat menjengkelkan apalagi ketika guru merasa siswa kelasnya telah
menyebarkan kecurigaannya bahwa perbuatan itu hanya dibuat-buat.
3.
Berpindah-pindah Tempat (movement)
Sering kali siswa tak nyaman
dan bosan hingga akhirnya dia berpindah-pindah tempat. Berpindah-pindah tak
dapat disangkal merupakan sebuah masalah karena bagaimanapun pergerakannya
dapat mengganggu aktivitas pembelajaran selain kebisingan dan kehilangan alat
tulis. Dengan banyaknya aktivitas kelompok yang menuntut banyak gerak, ada
semacam ‘godaan’ pada siswa untuk berjalan kesana-kemari untuk menggosip dan
tertawa terbahak-bahak.[5]
Ketika dipergoki guru, siswa akan berdalih bahwa mereka sedang mencari materi
pembelajaran atau berpura-pura penasaran dan terkagum dengan pekerjaan kelompok
lain sehingga ingin berjalan-jalan, dan itu mungkin akan membuat guru
terkelabuhi.
4.
Mengobrol (chatting)
Mengobrol juga akan sangat
mengganggu aktivitas pembelajaran walaupun hanya berbisik-bisik. Apalagi dengan
metode pembelajaran yang mengharuskan anak untuk berkomentar terhadap
pekerjaannya dan orang lain. Namun ini lebih baik dari pada hanya menjawab
ketika guru bertanya. Ketika sesi pertanyaan dan diskusi dibuka, mulailah
keributan dan suara-suara ramai akan mengganggu konsentrasi. Apabila hal ini
terjadi pada seorang guru yang masih muda, tentunya dia akan sangat mudah
tersulut emosi.
C.
Mengurangi Sumber Friksi
Beberapa masalah di atas dapat direduksi dengan
memberikan pemikiran yang cermat terhadap tugas maupun tanggungjawab sebagai
seorang guru.[6]
Marland (1975) menyarankan untuk selalu menaruh catatan di papan tulis dan
berbagai perlengkapannya yang ditugaskan kepada kelompok-kelompok tertentu
untuk mencatatnya sebagai bentuk
tanggung jawab, dengan disertakan juga nama orang yang bertanggung jawab
atas tugas tersebut. Peraturan yang sama juga dapat dibuat untuk mengatur
lalu-lalang siswa dan obrolan dengan membatasinya berjalan-jalan dan berbicara
dengan bagian-bagian tertentu di dalam ruangan kelas. Beberapa cara untuk
mengurangi sumber friksi adalah sebagai berikut
1.
Mengantisipasi tingkah laku awal (manipulating surface
behavior)
Pada masa ini, kebanyakan
tingkah laku menyimpang adalah berasal dari aktifitas siswa untuk mencari
perhatian atau mencari hal-hal lain supaya rasa bosannya hilang. Hal ini
sebaiknya tidak dilihat sebagai perang untuk kekuasaan atau misi untuk balas
dendam, meskipun motif-motif tersebut mungkin segera menjadi kenyataan dan
berakibat konfrontasi yang berlebihan jika guru salah menangani masalah
tersebut.
2.
Bekerja sama dengan kelas yang ramai
Kebisingan saat diskusi
kelas dapat diatasi apabila guru menerapkan pendekatan yang tepat sehingga
memperoleh hasil yang optimal. Penanganan kebisingan membutuhkan ketekunan,
pengkoordinasian dan refleksi terus-menerus hingga guru dan siswa dapat
merasakan kondisi yang dapat mendukung konsentrasi proses belajar mengajar.[7]
Beberapa siswa beranggapan bahwa kebisingan adalah hal biasa untuk mereka dan
guru akan jarang mendappat situasi yang tenang dan memungkinkan untuk
meneruskan proses belajar mengajar. Beberapa langkah untuk mengatasi kebisingan
adalah sebagai berikut.
a.
Ambilah tempat kira-kira di tengah-tengah kelas yang
memungkinkan dapat menjaga ketenangan saat diskusi tanpa mengajak siswa
terdekat untuk berbincang-bincang.[8]
b.
Berikanlah waktu pada siswa untuk mengobrol sekedarnya.
Hal ini mungkin membatasi waktu siswa untuk mengobrol ketika pelajaran dimulai.
c.
Berundinglah dengan orang tua siswa yang memungkinkan
membantu mereka dalam membangun sistem reward untuk anak mereka atas
tingkah laku positif yang mereka lakukan.
d.
Izinkan siswa untuk berkomunikasi selama pengerjaan tugas
melalui catatan atau bisikan yang tidak mengganggu. Namun, penyalahgunaan
haknya untuk hal ini sebaiknya telah diantisipasi dan disepakati oleh kelas.
e.
Berikan peringatan atau sinyal tanda peringatan (seperti
menyalakan dan mematikan lampu) jika kebisingan menjadi-jadi, dan terapkanlah
konsekuensi yang telah ditetapkan sebelumnya.
3.
Pengabaian yang terencana (planned ignoring)
Beberapa tingkah laku yang
provokatif cepat lambatakan menjengkelkan sendiri kecuali ada penanganan dari
guru. Perilaku tersebut sering kali membuat guru kesusahan untuk menanganinya.
Suara tak tentu, bergumam atau menirukan gaya tertentu ketika pembelajaran
adalah sebagian contoh kecil dari tindakan-tindakan mereka yang provokatif.[9]
Namun demikian,
penitikberatan tetap harus pada pengabaian yang terencana, dari pada sekedar
berharap agar gangguan tesebut akan hilang dengan sendirinya. Ketulian
misalnya, harus kredibel dalam keadaan seperti itu atau hal tersebut hanya akan
membuat situasi lebih buruk. Pura-pura tidak sadar dari siswa akan kelakuannya
yang menyimpang sebaiknya ditanggapi dengan perhatian positif.
4.
Membuat Kode-kode/Sinyal Gangguan (signal
interference)
Jika rupanya menggunakan
strategi pengabaian tidak berjalan efektif, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan percobaan untuk menghambat tingkah laku yang menggangu dengan
membuatnya tenang bahwa sumber gangguan tersebut telah dihilangkan. Sinyal ini
semestinya menghentikan perlakuan-perlakuan yang salah selanjutnya.
Sekali kontak mata telah
dilakukan, sinyal guru mungkin berbentuk gestur seperti menggunakan muka yang
cemberut, mengangkat alis atau bulu mata, mengedeg-gedeg kan kepala, atau
menggerakkan jari telunjuk sebagai bentuk peringatan. Seringkali sinyal
tersebut mungkin melibatkan sebuah ketenangan, secara pribadi ditujukan untuk
berhenti melakukan gangguan. Hal terpenting adalah memastikan bahwa sinyal
tersebut dimengerti oleh siswa. Sebagaimana Long dan Newman (1976) menerangkan,
sebagian anak-anak akan melihatmu berdiri dan mengawasinya setiap hari tanpa
membantunya untuk mengontrol satupun tingkah lakunnya.
5.
Kontrol Kedekatan (proximity control)
Jika menggunakan
sinyal-sinyal tersebut di atas gagal, kegelisahan dan kegembiraan mungkin dapat
diatasi oleh kedekatan secara fisik oleh guru. Cukuplah dengan berjarak satu
hasta dengannya, guru dapat menyediakan sumber ketenangan dan kondisi yang
aman. Kebanyakan siswa akan menghentikan aktivitasnya yang tidak bermanfaat
seperti mengobrol dan langsung melanjutkan tugasnya ketika guru mendekatinya.
Untuk keberhasilan dalam
melakukan kontrol kedekatan membutuhkan untuk dicoba pada langkah awal sebelum
tingkah laku buruk mulai muncul. Hal itu juga membutuhkan untuk dihubungkan
dengan langkah “meningkatkan perhatian”.
6.
Meningkatkan Perhatian(interest boosting)
Perhatian dan sikap
penyayang guru di dalam pekerjaan siswa dapat mengembalikan fokus mereka ke
dalam pelajaran.[10]Intervensi
haruslah yang spesifik, dari pada harus berbentuk umum. Sebagai contoh, “apakah
kamu ingat untuk menghitung kembali?” dari pada “bagaimana kamu menyikapi
jumlah tersebut?”.
Menilai hasil kerja sejauh
ini merupakan hal yang mudah untuk diintervensi, menawarkan bantuan pada tugas
yang sedang dikerjakan, dari pada harus melakukan perlawanan dengan tingkah
laku yang mengganggu.
7.
Kurangi tensi gangguan dengan humor
Ketika ada konfrontasi
antara guru dan siswa, jika atmosfer kelas menjadi tercemar oleh gangguan yang
tak terlihat siapa pelakunya dan bahkan disikapi dengan kemarahan dan tensi
yang tinggi. Kondisi akan dapat diatasi dengan humor atau komentar yang
menggambarkan perhatian untuk sisi lucu dari situasi tertentu.
8.
Memberi suntikan kasih sayang (hypodermic affection)
Mengatasi gangguan dengan
kecemasan dan rasa frustrasi dapat diubah dengan sebuah “injeksi/suntikan” akan
pujian atau kasih sayang. Guru harus memastikan bahwa melalui cara suntikan ini
telah diatur dengan baik dan tidak dengan unsur kekerasan. Dengan kata lain,
teknik ini sangat penting bahwa pujian itu berharga dan kasih sayang sangatlah
bermakna bagi siswa. Pada sebagian siswa, pmberian sanksi di depan
teman-temannya akan menimbulkan efek negatif dari pada positifnya. Kasih
sayang, juga demikian, dapat menjadi masalah. Kecenderungannya disini adalah
kebutuhan untuk menyampaikan perasaan sayang yang sebenarnya dari pada hanya
sebatas sikap yang menjemukan secara sentimen. Permohonan secara langsung (direct
appeal)
Terkadang keributan yang
memuncak dapat dicegah ketika guru membuat semacam permohonan secara langsung
kepada siswa untuk menyadari nilai-nilai kesantunan.[11]
Walaupun ini akan menjadikan kesinisan dari siswa dan karena kenyataan bahwa
anak-anak zaman sekarang kurang respek terhadap nilai-niai kerjasama,
sportifitas, dan kebaikan, setidaknya akan menjadikan hal tersebut sebagai
penghargaan yang tinggi bagi siswa yang mungkin mau berhenti berbuat friksi
setelah guru memohon secara langsung padanya.
KESIMPULAN
Pada dasarnya
gangguan-gangguan yang dilancarkan siswa berorientasi pada beberapa hal, yaitu
karena ingin mendapat perhatian, atau merasa bosan di kelas. Siswa-siswa
pembuat gangguan tersebut sudah pasti menjadi objek bagi guru untuk
mengatasinya agar tidak megganggu siswa-siswa yang lain. Namun dalam
penanganannya, guru harus hati-hati dan selektif memilih tekniknya agar tidak
membuat masalah menjadi bertambah kacau dan bahkan menjadikan siswa menjadi
resisten terhadapnya. Apabila guru menanganinya dengan penuh perhatian dan
kasih sayang, maka siswa akan dengan sangat gembira mau memperhatikan
perintah-perintah guru dan merasa dihargai. Tetapi jika guru tidak pandai dalam
melihat situasi di kelas dan bahkan menggunakan kekerasan, maka siswa akan
berbalik melawan dengan konfrontasi yang lebih buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, Rob. 2006. The Practical Guide to Primary Classroom
Management. London: Pul Chapman
Publishing.
Colin J. Smith and Robert Laslett. 2002.Effective classroom
management A teacher’s guide. London: Roudledge.
Mulyadi. 2009. Classroom Management: Mewujudkan Suasana Kelas yang
Menyenangkan bagi Siswa. Malang: UIN Malang Press.
Wiseman, Dennis. 2014. Best Motivation and Management in the Classroom. U.S.A:
Charles C. Tomas Publisher.